Satelit kaleng (Can Sat) merupakan sebuah muatan dari sounding rocket – sebuah roket yang diluncurkan untuk kepentingan riset dan penelitian – yang umumnya digunakan untuk mengajarkan teknologi antariksa yang kurang lebih sama dengan teknologi yang digunakan oleh satelit mini saat ini. Sampai sekarang, belum ada satelit kaleng yang sudah berhasil keluar dari atmosfer, apalagi mengorbit bumi.
Pada dasarnya, satelit kaleng hanya memimik teknologi instumentasi yang umum digunakan pada satelit sesungguhnya, agar siswa dan mahasiswa dapat belajar dan mempraktekkan ilmu mengenai teknologi antariksa. Murahnya instrumen, serta kecilnya volume, mendukung pembelajaran untuk lebih mudah terjadi.
Pada kompetisi satelit kaleng, peserta harus merancang satelit agar muat dalam kaleng soda (diameter 66 mm, tinggi 115 mm) serta harus lebih ringan dari 350 g. Antena dapat dipasang diluar, namun tidak boleh menambah diameter agar kaleng dapat dimasukkan sebagai muatan roket. Satelit kaleng diluncurkan dengan menggunakan roket ataupun balon cuaca, kemudian dijatuhkan dari ketinggian tertentu. Umumnya satelit kaleng dilengkapi dengan sistem recovery sepert parasut, payung, ataupun sayap, agar dapat terselamatkan dan digunakan kembali setelah operasi.
Ide satelit kaleng pertama kali muncul di “University Space Systems Symposium” di Hawaii, yang melibatkan 50 mahasiswa dari 12 universitas di Amerika dan Jepang. Prof. Emeritus Bob Twiggs dari Stanford University menawarkan ide yang menjadi cikal bakal proyek nanosatelit. Ide tersebut adalah untuk meluncurkan sebuah satelit berukuran kaleng soda ke luar angkasa. Volumenya kecil, beratnya juga tidak sampai 500 g.
Ide ini diwujudkan dalam sebuah proyek bernama ARLISS pada tahun 1999, melibatkan kebanyakan universitan Amerika dan Jepang, yang berujung pada peluncuran pada tanggal 11 September 1999, dan terus berlanjut setiap tahunnya. Setiap tahun, tiga satelit kaleng (berat total 1.8 kg) diluncurkan hingga ketinggian 4000 m.
Pada tahun 2000, misi dari satelit ini berubah. Satleit harus dapat menghitung dan mendarat mulus dengan data ketinggian dan posisi dari barometer dan GPS. Pada tahun 2001, muncul satu kategori baru yaitu ComeBack, di mana satelit harus dapat mengarahkan dirinya ke satu target tertentu. Dalam enam tahun, Tohoku University berhasil mengoptimalkan satelitnya sehingga dapat mendarat dengan jarak hanya enam meter dari target.
Pada tahun 2003, University of Tokyo berhasil menempatkan dua CubeSat, satelit berukuran sedikit lebih besar dari CanSat dan berbentuk kubus, di orbit bumi. Dalam beberapa tahun terakhir juga semakin banyak kompetisi bermunculan yang mengikuti konsep proyek yang diajukan oleh Prof. Bob Twiggs, serta proyek ARLISS, baik berskala nasional maupun internasional.
sumber : http://satelitkaleng.com/?p=56

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post